Bisa Dicegah Upaya Mahasiswa di Bandung Untuk Bunuh Diri
Teddy mengatakan, bunuh diri di kalangan akademisi bisa dicegah bersama dengan advokasi terhadap pihak penentu kebijakan di perguruan tinggi dan pemerintah daerah. Advokasi dilakukan sehingga kampus mengakui, kesehatan jiwa juga bunuh diri merupakan persoalan yang memerlukan perhatian dan komitmen untuk menanggulanginya. Kemudian lakukan assesment dan mengidentifikasi permasalahan. Lalu membuat alur rujukan dan layanan juga pembiayaan jadi berasal dari kampus hingga ke pas layanan kesehatan jiwa.
“Ada kampus di Kota Bandung yang berikan sarana kesehatan jiwa untuk mahasiswa, dosen, dan tenaga kependidikan sebesar 50 persen. Bagi yang keuangannya terbatas dibebaskan biayanya,” ucapnya. Upaya perlu lainnya adalah pelatihan mental health first aid atau pemberian pertama terhadap krisis mental dan bunuh diri. Pelatihan singkat ini terjadi 8-16 jam. Pelatihan dirancang bukan untuk melatih peserta jadi terapis, namun berikan peserta ilmu berkenaan gejala krisis mental seperti bunuh diri, mencederai diri, dan panik. “Juga dipelajari keterampilan mendukung seseorang yang tengah mengalami krisis mental hingga bisa diatasi,” tuturnya.
20 Persen Mahasiswa di Bandung Berpikir Serius untuk Bunuh Diri
Kesehatan jiwa di kalangan akademisi hingga kini belum mendapatkan perhatian atau jadi prioritas. Padahal mahasiswa calon penerus pemimpin bangsa dan jadi prasyarat world class university. Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia Teddy Hidayat mengatakan, moment tiga mahasiswa bunuh diri di sebuah perguruan tinggi dalam saat tiga bulan jadi bukti tingginya angka bunuh diri di kalangan mahasiswa. “Sekaligus jadi bukti kegagalan perguruan tinggi dalam menambahkan pemberian dan keamanan mahasiswanya,” ujar Teddy kepada Visit rutankendari di sela-sela World Mental Health Day di Bandung
Teddy mengatakan, sebuah survei dilakukan th. ini terhadap mahasiswa semester satu perguruan tinggi di Kota Bandung. Hasilnya, ditemukan 30,5 prosen mahasiswa depresi, 20 prosen berpikir sungguh-sungguh untuk bunuh diri, dan 6 prosen telah coba bunuh diri seperti cutting, loncat berasal dari ketinggian, dan gantung diri. Perilaku bunuh diri, sambung Teddy, merupakan puncak berasal dari bermacam problem yang dihadapi mahasiswa.
Tekanan akademis hingga ketidakjelasan kelulusan Hal yang lazim antara lain tekanan akademis, ketidakjelasan kelulusan, ancaman drop out. Kemudian faktor keuangan dan biaya hidup, hubungan bersama dengan dosen, orangtua, serta muda mudi. “Kendala lain yang tidak kalah perlu adalah belum tiap-tiap perguruan tinggi mempunyai tim konseling. Kalaupun telah tersedia belum dimanfaatkan oleh mahasiswa,” tuturnya. Hal lain yang mengherankan adalah hingga kini BPJS tidak membiayai penderita bunuh diri gara-gara dianggap penyakit yang dibikin sendiri. Padahal banyak mahasiswa yang kehidupannya pas-pasan. Jangankan berobat, untuk hidup sehari-hari saja kekurangan.
Kondisi Indonesia Bunuh diri, sambung Teddy, merupakan persoalan yang komplek, gara-gara tidak diakibatkan oleh penyebab atau alasan tunggal. Perilaku bunuh diri diakibatkan hubungan berasal dari faktor biologik, genetik, psikologi, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, kesehatan, dan lingkungan. Di dunia, tiap-tiap tahunnya 800.000 orang meninggal gara-gara bunuh diri atau tiap-tiap 40 detik satu orang meninggal gara-gara bunuh diri. Di Indonesia, 10.000 orang tiap-tiap tahunnya meninggal gara-gara bunuh diri atau tiap-tiap satu jam satu orang meninggal bunuh diri. “Bunuh diri adalah penyebab utama kedua kematian terhadap group remaja dan dewasa muda usia 15-29 tahun,” ucapnya.
Tinggalkan Balasan